Minggu, 08 Desember 2013

KALPATARU YANG TERWARISKAN.

    Santih.....Santih.......Santih ( Damai, Damai, Damai ), mungkin itu yang ada dan berkecamuk dalam pikiran dan hati. Dari sebuah kejayaan yang sempurna dan diakui oleh seluruh umat Nusantara, ternyata akibat sebuah rasa yang tidak terima melahirkan sebuah rekayasa dari persembunyian Ego yang menjalar bagai akar-akar pohon parasit bergelantungan menutupi batang pohon induknya. Sebuah pengakuan yang diinginkan dan diterima oleh alam, walau dia tahu dan menyadari bahwasanya alampun melihat yang sebenarnya. Namun sebuah sikap dan prilaku yang didasari/dipahami berdasarkan sebuah sikap tidak mau, tidak terima atau karena malu terlihat ketidak mampuannya, segala macam, bentuk, model manipulasi yang dikenal dan dipaksakan untuk selalu terlihat baik.
      Dari batang induk terlahir dan tercipta sebuah kesejatian dan kesempurnaan tanpa ada keinginan untuk mengurangi dan menyembunyikan. Begitu ikhlas dan tulus yang keluar dari sebuah jiwa yang murni. Sebuah kepolosan yang murni dari setiap anugerah ALAM tercipta tanpa ada goresan noda dalam kulit daunnya. Berpuluh, abad dan seribu tahun telah terlewati tanpa ada rasa hormat, apa lagi untuk melepaskan, walau jaring-jaring dan duri-duri melilit dan mencabik batang dan dahannya. 
     Dari sebuah keyakinan bahwa itu yang terjamah hanyalah kulit luar saja, karena semua itu tiada guna untuk sebuah pencapaian kesempurnaan dan kesadaran sejati. Dari inti, batang dalam, urat nadi dan kulit dalam, masih utuh murni tiada terusik. Beribu paku yang tertancap, beribu tali pengikat, beribu serangga yang selalu mengitari tidak akan mampu masuk sampai kedalam sebuah keyakinan yang hakiki.
     Hanya dia sang Waktu yang akan menjadi saksi dari kelelahan yang tak berakhir. Untukmu akan selalu tersiram dengan air murni kehidupan yang muncul dari jiwa-jiwa murni. Selalu dan selalu akan tumbuh batang - batang pohon muda yang siap melanjutkan pengabdian dan perjuanganmu untuk kehidupan makhluk di alam ini. Kelelahan yang mendera, kebodohan yang mengikuti akan membuat setiap akar dan daun yang melilitmu menjadi kering tiada guna. Engkau Kalpataru yang menjadikan kami teduh damai dan sejahtera. Salam.
 

Jumat, 14 Juni 2013

"Aku dan Milikku" hanya khayalan belaka.

EGO YANG MENGIKAT.
    Fungsi alami yang tak terhentikan dari "Ego" adalah untuk mengendalikan dunia, ego yang sedang mencoba mengendalikan lingkungan rumah, keluarga dan tempat kerja serta semua ego berjuang untuk mengendalikan apa yang mereka anggap sebagai badan dan bathin mereka sendiri. Kendali semacam itu mewujud sebagai nafsu dan penolakan dan hasilnya adalah kurangnya kedamaian internal dan keselarasan eksternal. 
        Ego inilah yang menuntut meraup kepemilikan, memanipulasi pihak lain dan mengeksplotasi lingkungan. Tujuannya adalah untuk kebahagiaan sendiri, tetapi tak pelak menghasilkan penderitaan. Ego berhasrat untuk puas tetapi mengalami ketidakpuasaan. Penderitaan yang berakar kuat semacam ini tidak sampai pada sebuah akhir sampai kita melihat melalui pandangan cerah berlandaskan pikiran positif.
         Memahami bahwa kita dapat datang datang dan pergi ke alam-alam yang berbeda, memberikan kita lebih banyak rasa hormat dan belas kasih kepada makhluk-makhluk lain di alam-alam tersebut. Rasanya kita tidak akan, sebagai contoh, mengeksplotasi binatang ketika kita menyadari kaitan tumimbal lahir yang menghubungkan kita dengan mereka.
         Terdapat perbuatan-perbuatan melalui tubuh, ucapan, dan pikiran yang membawa pada kerugian bagi diri sendiri, kerugian bagi pihak lain atau kerugian kedua-duanya. Perbuatan semacam itu disebut karma "buruk" atau "tidak bermanfaat". Mereka termotifasi oleh nafsu, niat buruk atau delusi dan karena tindakan semacam itu semestinya tidak dilakukan.
        Jika tatkala kemalangan terjadi sering menyalahkan pihak lain, kita dapat melihatnya sebagai kesalahan dalam perbuatan kita sendiri pada masa lampau. Ketika kebahagiaan terjadi sering menganggap hal tersebut sebagai lumrah-lumrah saja, kita dapat melihatnya sebagai buah dari karma baik di masa lampau.
      Meskipun kita tidak dapat melarikan diri dari akibat karma buruk, kita dapat mengurangi keparahannya. Sesendok garam yang dicampur ke dalam segelas air, membuat air berasa sangat asin, sementara sesendok garam yang sama yang dituangkan ke dalam danau air segar, nyaris tidak mengubah rasa airnya. Artinya, akibat karma buruk pada seseorang yang terbiasa sedikit melakukan karma baik akan menjadi sangat menyakitkan, sementara akibat karma buruk yang sama pada seseorang yang terbiasa melakukan banyak karma baik akan terasa ringan saja.
       Karena ego yang masih lebih menguasai pikiran, hati dan jiwa terkadang kita terlena akan kebanggan diri. Menganggap semua hasil yang kita dapatkan adalah sah dan wajar-wajar saja, tanpa lagi melihat sisi kiri dan kanan lingkungan kita, tanpa lagi bisa melihat saudara, teman, sahabat dana bahkan diri sendiri, yang mungkin apa yang kita dapatkan adalah tidak lepas dari peran serta meraka.
Yang terjadi " Aku dan Milikku " tidak lebih dari khayalan belaka. 
          Kendalikan keinginan, ego dalam diri sendiri. Salam